Minggu, 30 Maret 2008

semiotika dalam secangkir kopi

“Secangkir Kopi”
Dalam
Rajutan Semiotika




Awalan

Dalam kehidupan kita, terdapat banyak benda yang bisa kita jadikan tanda. Benda-benda itu tentunya juga memiliki makna tersendiri, tergantung bagaimana kita menginterpretasikannya. Gambar atau simbol adalah bahasa rupa yang bisa memiliki banyak makna. Suatu gambar bisa memiliki makna tertentu bagi sekelompok orang tertentu, namun bisa juga tidak berarti apa-apa bagi kelompok lain. Struktur arsitektur sebuah bangunan, rambu-rambu lalulintas, suara lonceng gereja, bendera, bunyi gong atau bahkan sebuah lukisan pun merupakan suatu tanda, memiliki suatu makna. Misalkan pada gambar 01 berikut dibawah ini. Bentuk banguan ini mirip atau hampir serupa dengan bentuk perahu, topi pendeta atau bahkan seperti bebek. Semua tergantung bagaimana kita menginterpretasikan gambar tersebut karena sebuah gambar itu memang memiliki multi-interpretasi.


Gambar 01. gereja Peziarahan Notre-Dame Du Haut (Le Corbusier)

Dalam memaknai suatu gambar, benda atau apapun yang ada disekitar, kita perlu mempelajari suatu ilmu tentang tanda, yaitu semiotika. Banyak sekali pakar semiotika yang bermunculan dengan berbagai pemikiran mengenai semiotika itu sendiri. Dalam paper ini penulis mencoba mengartikan sebuah gambar dengan menggunakan pendekatan semiotika berdasarkan pemikiran Peirce. Gambar yang akan dianalisis diambil dari koran harian Kompas pada kolom karier di dalam rubik Klasika.[1]
Gambar ini merupakan hasil dari sebuah fotografi, yang sebelumnya didesain sedemikian rupa sehingga menghasilkan suatu sisi artistik yang memiliki makna tersendiri, dan kembali lagi, makna yang dihasilkan tergantung bagaimana kita menginterpretasikannya, yang bisa kita nilai dari sudut pandang ideologi, etika atau yang lainnya.


Pendekatan Semiotika : Charles Sander Peirce
Semiotika adalah ilmu tanda. Charles Sander Peirce, ahli filsafat dan tokoh semiotika modern Amerika menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Menurut Peirce kata ‘semiotika’, merupakan sinonim kata logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Semiotika bagi Peirce adalah suatu tindakan (action), pengaruh (influence) atau kerja sama tiga subjek yaitu tanda (sign), objek (object) dan interpretan (interpretant).[2]
Peirce membedakan tiga konsep dasar semiotik, yaitu: sintaksis semiotik, semantik semiotik, dan pragmatik semiotik.[3] Sintaksis semiotik mempelajari hubungan antartanda. Hubungan ini tidak terbatas pada sistem yang sama. Contoh: teks dan gambar dalam wacana iklan merupakan dua sistem tanda yang berlainan, akan tetapi keduanya saling bekerja sama dalam membentuk keutuhan wacana iklan. Semantik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, objek, dan interpretannya. Ketiganya membentuk hubungan dalam melakukan proses semiotis. Konsep semiotik ini akan digunakan untuk melihat hubungan tanda-tanda dalam iklan (dalam hal ini tanda non-bahasa) yang mendukung keutuhan wacana. Pragmatik semiotik mempelajari hubungan antara tanda, pemakai tanda, dan pemakaian tanda. Pendekatan yang dilakukan oleh Peirce adalah pendekatan triadic, karena mencakup tiga hal yakni tanda, hal yang diwakilinya serta kognisi yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap tanda tersebut.
Pada prinsipnya, semua tanda tidak perlu membentuk atau memiliki relasi antara penanda dan petanda, tapi dalam kehidupan sehari-hari kita menemukan banyak pola penggunaan tanda yang menunjukkan hubungan-hubungan yang berbeda antara penanda dan petanda. Pierce membagi tipologi tanda berdasarkan objek (detonatum) menjadi tiga kategori, yaitu : iconic sign (tanda ikon), indexical sign (tanda indeksial atau indeks), dan symbolic sign (tanda simbolis atau simbol).[4]

Ikon adalah segala sesuatu yang dapat dikaitkan dengan suatu yang lain. hubunganya terletak pada persamaan atau kemiripan. Tanda ikonik dapat mengungkapkan sesuatu karena antara penanda dan petanda memiliki keserupaan atau kemiripan wujud ataupun kualitas-kualitas tertentu. Misalkan bentuk arsitektur suatu bangunan, kita bisa ambil contoh gedung Sydney Opera House (Jorn Utzon) yang ada di Australia (lihat gambar 02). Jika kita perhatikan sekilas bangunan ini menyerupai perahu layar, cangkang kerang atau bahkan kura-kura. Atau contoh lain, misalkan foto mengindikasikan objek yang tergambar di situ.
Gambar 02. Sydney Opera House

Tanda indeksial atau indeks menunjuk pada sesuatu, bukan berdasarkan pada kemiripannya tapi lebih menekankan pada keterkaitan logisnya atau hubungan kausalitasnya (sebab-akibat). Misalkan tulisan museum pada suatu gedung menunjukkan bahwa gedung itu adalah museum (lihat gambar 03). Asap menunjukkan ada api.


Gambar 03. Tulisan Museum pada sebuah gedung

Tanda simbolik atau simbol menekankan pada kesepakatan, kebiasaan atau konvensi masyarakat yang melandasi hubungan arbitrer antara penanda dan petanda. Karena makna tanda simbolis sepenuhnya didasarkan pada kesepakatan masyarakat, maka masyarakat dalam lingkup yang berbeda sangat mungkin memahami tanda dengan makna yang berbeda. Sebagai contoh, kita bisa melihat pada tugu Monas (lihat gambar 04). Tidak terdapat relasi yang serupa ataupun logis dengan kota Jakarta, namun tugu ini dijadikan simbol bagi kota Jakarta. Atau contoh lain misalnya, mengangguk berarti mengiyakan, menggeleng berarti tidak. Semua itu berdasarkan kesepakatan.


Gambar 04. Tugu Monas Jakarta

Suatu penanda dapat menjalin lebih dari satu petanda dan sebaliknya sehingga akan terbentuk pemahaman kita melalui hubungan tersebut. Suatu tanda tidak mungkin di bentuk di ruangan hampa tanpa sesuatu pola yang telah ada sebelumnya. Tanda juga tidak mungkin dibentuk secara terisolasi tanpa hubungan dengan manusia, objek maupun peristiwa di sekitarnya atau dijamannya. Oleh karena itu “konteks” selalu mempengaruhi suatu tanda.


Kajian Semiotika : Secangkir kopi

Setiap benda, gambar atau apapun yang ada disekitar kita merupakan suatu tanda, sesuatu yang memiliki makna, tergantung bagaimana kita menginterpretasikanya. Dalam rajutan semiotika ini penulis mencoba menganalisis sebuah gambar cangkir (lihat gambar 05). Gambar ini diambil dari harian Kompas, yang terbit pada 5 Mei 2007. Sebenarnya gambar ini ditujukan atau terdapat pada sebuah artikel yang berhubungan dengan kode etik dalam dunia kerja. Namun penulis mencoba menganalisis diluar jangkauan dari isi artikel tersebut.



Gambar 05. Secangkir Kopi

Dari gambar 05, kita melihat sebuah sendok, cangkir dan alasnya dengan air kopi yang sudah hampir habis. Pada gambar itu pula terlihat beberapa uang logam sen dan satu lembar uang dollar, serta kertas nota. Dengan melihat gambar tersebut, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa seseorang telah meminum secangkir kopi dan uang tersebut adalah biaya yang dikeluarkan untuk membayar secangkir kopi. Dari situ juga bisa kita simpulkan bahwa dari secangkir kopi telah terjadi suatu kesepakatan.

Suatu gambar menjadi ikon karena terdapat suatu kemiripan dengan objek yang menjadi rujukan. Pada gambar tersebut kita melihat sebuah cangkir. Walaupun hanya sebuah gambar kita mengartikannya sebagai gambar sebuah cangkir, karena ada kemiripan dengan cangkir yang sesungguhnya. Di dalam cangkir tersebut juga terlihat air yang hampir habis, warna air dalam cangkir tersebut menyerupai air kopi, teh, coklat hangat atau bahkan susu coklat. Dari kemiripan atau kesamaan dari objek air tersebut kita bisa mengintrepretasikannya sebagai air teh, kopi atau sesuatu yang serupa lainnya. Begitupun dengan alas cangkir dan sendoknya, uang logam dan uang kertas, serta secarik kertas nota.

Gambar ini bisa menjadi index karena ada keterkaitan antara representamen (tanda) dan objeknya. Hubungan tanda dan objek bersifat konkrit, aktual, sekuensial atau kausal. Jika kita lihat gambar menjadi satu keseluruhan, yaitu baru saja ada orang yang minum kopi. Hal itu ditandai dengan, misalnya : air kopi yang di dalam cangkir tinggal sedikit, adanya uang lebaran dan sen, serta ada bill (kertas tagihan).

Tanda ini juga bisa menjadi simbol. Karena untuk memahaminya ada konvensi yang berlangsung dalam masyarakat di Barat. Yaitu bagaimana cara membayar secangkir kopi. Dari tanda ini sebenarnya kita bisa tahu konvensi pembayaran dalam tradisi masyarakat Barat, dalam hal ini adalah Amerika. Bahwa seorang pembeli tidak harus menyerahkan uang kepada kasir, tapi dia cukup meletakkan sejumlah uang dibawah cangkir sesuai dengan jumlah tagihan yang tertera di dalam bill. Di sini terdapat terlihat adanya suatu kepercayaan: antara pembeli dan penjual, antara businessman dengan koleganya, antara pengacara dengan kliennya.

Jika dihubungkan dengan isi artikel yang bertemakan kode etik dalam dunia bisnis atau kerja, kita bisa memaknainya dengan sudut pandang yang lain. Dalam paper ini penulis mencoba menginterpretasikan gambar tersebut dari sisi ideologis, berdasarkan cara pandang penulis sendiri tentunya. Jika kita melihat sebuah cangkir, secara sederhana kita melihat cangkir adalah tempat untuk minum, wadah kecil untuk air. Namun cangkir bisa berarti suatu wadah untuk menampung sesuatu, suatu tempat yang digunakan untuk bertukar pikiran. Hal ini bisa kita lihat dari isi cangkir itu sendiri, yaitu air dalam cangkir. Sebuah cangkir bisa kita isi dengan air apapun yang kita sukai, ini berarti pula di dalam suatu wadah atau bisa kita sebut suatu komunitas, terdapat beragam pola pikir dan ideologi yang berbeda antar anggota komunitas. Isi dari cangkir itu adalah suatu pilihan, kita bisa mengisinya dengan air teh, susu, kopi atau coklat hangat. Dalam sebuah pilihan kita harus menyadari bahwa setiap hari, setiap saat kita dihadapkan pada pilihan sikap, dan mempunyai kesempatan untuk memilih yang baik. Semakin kompleks permasalaha dan berbagai resiko yang mendampinginya, seseorang akan semakin diharuskan untuk berfikir keras dan mempertimbangkan banyak hal sebelum bertindak. Dan alas cangkir itu sendiri bisa kita artikan sebagai dasar pemikiran, suatu ideologi dalam cara pandang, pemecahan suatu kasus atau permasalahan.
Dalam gambar terlihat pula sebuah sendok kecil, yang bisa kita sebut sebagai sendok teh. Sendok teh berfungsi sebagai penakar gula dan pengaduk agar gula larut dalam air yang ada di dalam cangkir tersebut. Pada makna lain, dalam kode etik sendok itu bisa kita artikan sebagai pengontrol, sebagai monitor dalam suatu aktifitas. Gula akan larut dalam air jika kita mengaduknya; air dalam cangkir akan tumpah jika kita mengaduknya terlalu kencang; dan teh akan terasa cukup manis jika kita bisa menakar gula sesuai dengan apa yang kita inginkan. Sendok sebagai pengontrolan emosi.
Dalam gambar tersebut juga terdapat satu lembar uang dollar dan beberapa sen uang logam, serta secarik kertas tagihan. Ada uang, secangkir kopi dan secarik bill, berarti disitu sudah terjadi suatu kesepakatan. Yang berhubungan dengan kopi adalah kedai kopi atau kafe. Dalam kehidupan masyarakat modern, mengadakan pertemuan di sebuah kedai kopi atau kafe itu hal yang sudah biasa, karena mereka menginginkan suasana yang santai, akrab dan menyenangkan sehingga bisa menghasilkan suatu kesepakatan yang baik pula. Nota merupakan suatu kesepakatan, kesepakatan harga yang harus dibayarkan untuk secangkir kopi itu sudah tertera di dalam nota dan uang yang ada dibawah alas cangkir merupakan hasil dari kesepakatan tersebut. Ini merupakan suatu simbol, bahwa telah terjadi suatu konvensi dalam masyarakat Barat (kita sebut masyarakat Barat karena uang yang digunakan adalah dollar dan sen), suatu konvensi yang berdasarkan profesionalisme dan kepercayaan. Kita membayar sesuatu, kita mendapatkan sesuatu. Melakukan suatu usaha, menerima suatu hasil. Dalam budaya masyarakat modern, khususnya masyarakat Barat, seorang pembeli tidak perlu harus melakukan pembayaran di depan kasir. Cukup meletakkan sejumlah uang sesuai apa yang tertera dalam kertas tagihan, dan kemudian pergi, dan kita bisa menyebut ini sebagai suatu kepercayaan dalam bertransaksi. Dalam suatu transaksi bisnis, ataupun jual beli, kreativitas itu baik untuk mencari solusi, tetapi kreativitas tersebut tidak untuk merekayasa peraturan atau system. Suatu kesenangan merupakan pancingan kepekaan untuk menyensor rasa “nyaman” kita bila melakukan sesuatu yang pelik.


Akhiran: Mencoba Mempelajari dan Memahami

Begitu banyak makna yang akan kita dapatkan dalam mengiterpretasikan sesuatu, apa yang kita lihat ataupun tidak. Tak hanya sebuah gambar yang dianalisis oleh penulis, namun juga gambar-gambar yang lain, ataupun benda dan suara. Tampak jelas bahwa suatu benda, gambar atau suara dan lain sebagainya adalah merupakan tanda, dan tanda itu memiliki suatu makna tertentu tergantung bagaimana kita menginterpretasikan tanda-tanda tersebut.




A cup of Engagement’s Tea, Sabtu, 16 Juni 2007

Indah Marti Refianti
23919/IV-13/9/06

Matakuliah : Pendekatan Semiotika dan Hermeneutika
Dosen Pengampu : Drs. Kris Budiman, M.Hum







DAFTAR PUSTAKA



Budiman, Kris. 2004. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik. 2004. hal. 25

Budiman, Kris. 2005. Ikonisitas Semiotika Sastra dan Seni Visual. Yogyakarta: Buku Baik.

Kompas, Sabtu, 5 Mei 2007.

Peirce, Charles S. “Logic as Semiotics : The Theory Of Sign” yang diedit oleh Robert Elnnis (1986) dalam “Semiotics : An Introductory Anthology” Hutchinson University Library, h.1

http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/request.php?PublishedID=DKV00020205

http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika

http://www.google.co.id/search?q=semiotika&hl=id&start=60&sa=N

[1] Harian Kompas, Sabtu, 5 Mei 2007. dalam sebuah artikel yang berjudul Kode Etik dengan penulis Eileen Rachman&Sylvina Savitri (EXPERD, Soft Skills Training). Namun yang akan dianasis hanya gambarnya saja, bukan judul dan isi artikelnya atau kaitannya dengan artikel tersebut. Tapi pada akhiran paper penulis mencoba mengkajinya dalam cara pandang etika.
[2] Dikutip dari artikel yang berjudul “Rajutan semiotika untuk sebuah Iklan: Studi Kasus Iklan Long Beach” oleh Freddy H. Istanto. Yang di download pada URL http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/request.php?PublishedID=DKV00020205
[3] Dikutip dari artikel semiotika. Yang di download pada URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Semiotika
[4] Charles S. Peirce, “Logic as Semiotics : The Theory Of Sign” yang diedit oleh Robert Elnnis (1986) dalam “Semiotics : An Introductory Anthology” Hutchinson University Library, h.1

Perempuan dan Fashion

PEREMPUAN DAN FASHION


Awalan
Perempuan dan fashion, merupakan dua kata yang tidak dapat dipisahkan dan saling berhubungan. Fashion merupakan suatu media untuk menunjukkan identitas diri, suatu media untuk mengekspresikan disi, terlebih bagi kaum perempuan. Fashion pun merupakan suatu hak yang “sedikit” diperjuangkan bagi kaum feminis mengenai persamaan gender dalam hal berpakaian. Perempuan pun membutuhkan kenyamanan dan keleluasaan dalam berbusana. Dulu, pakaian untuk perempuan hanyalah gaun dan rok panjang, sedangkan celana atau pantaloon hanya diperuntukan bagi laki-laki. Sedangkan, pakaian perempuan yang berbentuk busana atau gaun panjang sangat membatasi ruang gerak perempuan dalam beraktivitas. Masalah inilah yang dihadapi kaum perempuan pada jaman dulu. Namun sekarang sudah banyak perubahan dalam hal berpakaiaan bagi kaum perempuan. Tak hanya diperuntukannya celana atau pantaloon bagi perempuan, namun juga begitu banyak pakaian dalam beragam mode yang didesain untuk perempuan. Dari pakaian, perempuan bisa menunjukkan identitasnya, dengan pakaian pula perempuan melakukan gerakan resistansi dan protes terhadap kekakuan norma dan budaya.
Dulu perempuan berpakaian hanya sebatas gaun panjang saja, atau bagi masyarakat jawa kaum perempuan memakai kebaya dan kain panjang, dan mayoritas pakaian perempuan itu cenderung tertutup. Hal ini dikarenakan masih kentalnya adat normatif, yang begitu mengatur dan mengekang hak perempuan, tak hanya dalam kehidupan rumah tangga dan sosial ekonomi dan politik; namun juga mengatur cara berpakaian perempuan sehingga perempuan jaman dulu cenderung kurang ekspresif. Sedangkan celana atau pantaloon hanya dipakai untuk kaum laki-laki dan hanya kaum perempuan pekerja di ladang saja yang mengenakannya. Namun suatu gerakan feminisme, dengan landasan keleluasaan dalam berpakaian dan kenyamanan serta persamaan perempuan dan laki-laki dalam hal berpakaian merubah semua aturan-aturan tersebut. Celana atau pantaloon sudah mulai diperkenalkan atau dibuat untuk kaum perempuan, bahkan tak hanya itu, sekarang pakaian perempuan tak lagi hanya berbentuk busana yang tertutup dan kuno, tapi pakaian perempuan sekarang lebih ekspresif dan menunjukkan sisi sensualitas sosok perempuan.
Fashion dijadikan sebagai suatu media untuk mengekspresikan nilai-nilai modernitas. Dari sinilah terlihat suatu pergerakan dari display ke identitas. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer, dan pembuatan pakaian yang seragam memungkinkannya menjadi bagian dari kebudayaan populer.
Perubahan pakaian perempuan secara berkala sangat terlihat pada pakaian perempuan di Eropa. Misalkan perubahan pakaian olahraga untuk perempuan. Cara yang mudah untuk menjelaskan perubahan dalam fashion adalah pada terma evolusioner sederhana, sebagai suatu indeks yang mempercepat kemerdekaan perempuan dan persamaan perempuan dengan laki-laki.
Bagi beberapa puritan yang radikal, fashion tidak pernah lebih dari ‘democracy of the image’, suatu fatamorgana yang menyesatkan keinginan ‘riil’ kita dengan mengubah mereka ke dalam komoditas, dan individualitas ke dalam konformitas (penyesuaian).[1] Fashion atau pakaian digunakan sebagai tempat struggle (perlawanan), sebagai arena di mana konflik gender dimainkan dalam bentuk-bentuk semi simbolik yang mungkin lebih tinggi dari pada drugs yang menekan kesadaran manusia. Selain itu, pakaian menjadi sebuah tempat ekspresi pada suatu solidaritas suatu kelompok atau komunitas.

Sebuah revolusi
Invansi kapitalis menjadi dasar terjadinya revolusi dalam kebiasaan, kepercayaan dan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Perubahan-perubahan yang terjadi sebagai dampak dari adanya ekspansi ekonomi dialami oleh setiap bidang kehidupan, tidak hanya dalam produksi namun hal konsumsi pun terjadi perubahan. Bahkan mulai sekarang fashion menjadi suatu media untuk mengekspresikan nilai-nilai modernitas.
Pakaian perempuan dan laki-laki merupakan simbol identitas diri. Pada abad ke 19 dan 20-an terjadi perubahan akan fungsi dan mode pakaian itu sendiri. bahan dari pakaian itu sendiri mempengaruhi fungsi pemakaiannya. Pakaian itu sediri menjadi identitas gender bagi wanita dan pria. Pakaian pria dengan celana dan kemeja panjangnya, sedangkan wanita dengan pakaian gaun panjangnya. Perubahan-perubahan tersebut misalkan perubahan yang terjadi pada pakaian olahraga perempuan dan laki-laki yang terjadi di Eropa. Dulu pakaian olahraga untuk wanita terkesan sangat “ribet”, gaun panjang dengan bahan yang kurang nyaman mempersulit ruang geraknya. Selain itu gaun-gaun yang dibuatpun hanya untuk cuaca tertentu, tidak bisa dipakai diwaktu hujan atau bahkan bersalju. Pakaian perempuan, kita sebut saja gaun, dibat dengan bahan yang kaku yang mempersulit ruang geraknya. Celana sendiri dianggap tabu bila dikenakan oleh kaum perempuan. Oleh karena itu para designer berlomba untuk menemukan suatu metode baru dalam menciptakan pakaian olahraga.
Pada abad ke 19, terjadi perubahan besar dalam dunia fashion, suatu pergerakan penampilan menjadi identitas. Fashion dijadikan sebagai tanda anggota dari suatu kelas, kasta atau pekerjaan. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer dan manufaktur pakaian massa yang memungkinkannya untuk menjadi bagian dari kebudayaan populer.
Akhir abad ke 19 dan awal abad 20, pakaian olahraga untuk wanita mengalami kemajuan yang pesat. Pada abad ke 18, para wanita tidak dapat mengekspresikan dirinya karena pakaian-pakaian tidak dapat dikenakan pada saat hujan, angin atau hujan salju dikarenakan mode atau bahan pakaian itu sendiri, kebiasaan ini mengalami perubahan pada abad ke 19, dimana para wanita bebas mengenakan pakaian yang mereka sukai setiap saat.
Trouser untuk perempuan merupakan perubahan fashion yang signifikan pada abad 20. Untuk beberapa abad, para wanita “Barat” menyembunyikan kaki-kakinya dalam gaun yang panjang; trouser dan pantaloon hanya dipakai oleh para artis dan akrobat. Secara paradoks, dalam budaya Islam para wanita menggunakan trouser dan para pria mengenakan jubah, tapi di dunia Barat sampai dengan tahun 1900an hanya wanita pekerja yang mengenakannya. Pada tahun 1950an trouser dan jeans menjadi suatu simbol anak muda. Tahun 1960an trouser digunakan sebagai pakaian formal, namun pemakaian trouser untuk perempuan mengalami perubahan yang lebih signifikan dibandingkan hemlines pada tahun-tahun setelah 1945.
Cara yang mudah untuk menjelaskan perubahan ini dalam terma evolusi yang sederhana, sebagai suatu indeks peningkatan kebebasan perempuan dan persamaan perempuan dengan laki-laki. Argumen yang kedua menjelaskan adopsi trouser dari seorang fungsionalis, bahwa mereka lebih nyaman dan praktis daripada rok.
Gaya merupakan sebagai cara hidup, gaya menunjukkan seseorang sebagai dirinya sendiri dan gaya merupakan suatu kesenangan. Inilah yang menjadi dasar keinginan perempuan untuk lebih ekspresif dalam berpakaian untuk menunjukkan identitas diri sebagai perempuan.


Pakaian sebagai Bahasa dan Tanda
Pakaian merupakan suatu konfirmasi perubahan dan kadang-kadang suatu inisiasi dari perubahan. Pakaian kadang merupakan suatu makna dari dasar yang natural dan terma-terma konflik politik dan kadang merupakan suatu makna menciptakan konsensus. Kadang pakaian juga merupakan suatu instrument percobaan untuk mendominasi dan suatu gudang persenjataan untuk melakukan perlawanan dan protes.
Charles Sander Peirce[2], ahli filsafat dan tokoh semiotika modern Amerika menegaskan bahwa manusia hanya dapat berfikir dengan sarana tanda, manusia hanya dapat berkomunikasi dengan sarana tanda. Menurut Peirce kata ‘semiotika’, merupakan sinonim kata logika. Logika harus mempelajari bagaimana orang bernalar. Tanda-tanda memungkinkan manusia berfikir, berhubungan dengan orang lain dan memberi makna pada apa yang ditampilkan oleh alam semesta. Fashion atau pakaian merupakan sebuah tanda. Simbol yang menunjukkan identitas diri, dan fashion yang merupakan sebuah simbol atau tanda berfungsi sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, sarana untuk melakukan resistensi terhadap kekakuan budaya dan ideologi.
Pakaian merupakan materi budaya di dalam suatu mode dinamis yang aktif. Di dalam aturan diakronis, pakaian disajikan sebagai suatu alat komunikasi melalui perubahan sosial yang direnungkan, diusulkan, diinisiasikan, diselenggarakan dan ditolak. Pakaian membuat materi budaya pada cara yang berbeda dan cara yang jelas.
Ada suatu karakteristik tersendiri mengenai pakaian ketika dijadikan suatu jalan yang digunakan sebagai kiasan tertentu ketika melihat pakaian dari aspek ekspresif. Literatur kritis menyatakan bahwa pakaian merupakan suatu jenis bahasa.[3] Perbandingan bahasa dan pakaian tidak selalu diharapkan dengan tingkatan yang sama dengan sesuatu hal yang serius. Karena itu diperlukan suatu metafor untuk membantu memperjelas properti-properti tertentu yang diberikan oleh pakaian dan bahasa.[4]
Menurut Grant McCracken aplikasi dari model linguistik struktural ke pakaian itu kurang sesuai. Ketika pakaian menyerupai bahasa, pakaian akan meninggalkannya di dalam suatu cara yang fundamental. Ironisnya, ketika pakaian secara penuh menyesuaikan ke bahasa dan prinsip-prinsipnya mengenai seleksi dan kombinasi, sepenuhnya gagal sebagai suatu alat semiotik. Atau dengan cara yang lain, ketika pakaian sebagai suatu kode itu hampir menyerupai bahasa, hanya sedikit yang berhasil sebagai alat komunikasi. Terdapat perluasan suatu perbedaan yang fundamental antara bahasa dan pakaian. Perbedaan ini harus diperhitungkan jika kita akan membuat suatu pengujian yang sukses mengenai aspek komunikatif dari bahasa.
Yang sesuai untuk memecahkan kode perilaku adalah semacam kode yang khas dari pakaian. Pakaian sebagai alat komunikasi tidak mempunyai aspek sintagmatis yang asli. Kode tidak memberikan aturan-aturan kombinasi untuk manipulasi seleksi-seleksi paradigmatik ke efek-efek semiotik. Kombinasi unsur-unsur pakaian bukan suatu bagian krusial dari kreasi pesan-pesan yang diberikan oleh pakaian. Kode tidak mempunyai kapasitas generatif. Para penggunanya menikmati bukan kebebasan kombinatorial.
Kode pakaian yang ditetapkan tidak hanya komponen-komponen dari pesan, tapi juga pesan-pesan mereka sendiri, yang mana pesan-pesan tersebut datang seolah-olah seperti pra-fabrikasi. Karena pemakai tidak memiliki kebebasan kombinatorial, interpreter dari pakaian menguji suatu perlengkapan tidak untuk suatu pesan baru tapi untuk sesuatu yang kuno atau lama yang ditetapkan oleh konvensi. Kebebasan kombinatorial bisa dilatih oleh pemakai hanya dengan efek yang membingungkan interpreter. Kebebasan kombinatorial tidak bisa coba dalam pakaian tanpa melepas pakaian ini dari potensi dan efek kombinatorialnya.
Pada sebuah artikel berjudul “Language and its Relation to Other Communication System” (1971)[5], Jakobson berpendapat bahwa untuk alat-alat komunikasi non-linguistik tertentu, kode merupakan suatu koleksi pesan-pesan dibandingkan suatu alat untuk kreasi mereka. tidak sama dengan bahasa, yang menetapkan tanda dan aturan untuk kombinasinya ke dalam pesan-pesan, sebuah sistem seperti halnya pakaian memberikan peluang yang tidak generatif, dan oleh karena itu harus menetapkan kemajuan dari tindakan komunikasi apapun pesan-pesan yang mana kodenya itu mampu (cf. Culler 1975:3-54).[6]


Pakaian dan gerakan kaum perempuan
Banyak hal yang dilakukan oleh kaum perempuan untuk menunjukan eksistensinya dengan media pakaian. Pakaian dan segala atributnya memiliki makna tersendiri bagi pemakainya. Sebagai contoh adalah pakaian yang dikenakan oleh gadis Harajuku, sebuah gaya berpakaian para pemuda di Jepang (gambar 01). Ini merupakan simbol protes atas kejenuhan bagi kaum pemuda terhadap adat yang berlaku di sana, sebagai suatu bentuk perlawanan terhadap kekakuan adat budaya Jepang dalam hal berpakaian. Protes tersebut mereka lakukan dengan cara berpakaian ala serba-tabrak, dengan gaya rambut dan aksesoris yang senada pula.


Gambar 01. Gadis Harajuku

Pakaian bikini bangsa “Barat” pada awalnya pun tak seterbuka sekarang. Dulu para perempuannya berenangpun dengan pakaian yang sopan dan tertutup. Namun dengan adanya revolusi busana untuk renang, desainer membuat bikini yang seperti sekarang. Lebih terbuka dan nyaman, bahkan menonjolkan sisi sensualitasnya. Bahkan dalam ajang Miss Universe ataupun Miss World, ada kategori atau penjurian tersendiri yang mewajibkan pesertanya untuk mengikuti sesi pakaian renang (bikini). Semua dengan alasan bahwa bikini merupakan busana yang universal, semua orang pasti memakainya ketika berenang. Namun ada juga gerakan feminisme yang menolak sesi pemakaian bikini dalam penjurian kompetisi tersebut; dengan alasan yang berhubungan dengan ideologi agama dan budaya.
Dari sini kita bisa melihat bahwa pakaian itu tidak hanya sekedar sebagai pembalut tubuh, namun pakaian juga menjadi suatu simbol bagi pergerakan perempuan. Perubahan demi perubahan dilakukan untuk memberikan kenyamanan bagi perempuan dalam berpakaian. Sedikit merobek aturan-aturan cara berpakaian perempuan. Walaupun pakaian merupakan permasalahan yang sederhana, namun memiliki arti yang cukup signifikan bagi kaum perempuan.
Jika kita mau melihat lagi dari mana awal terciptanya suatu aturan berpakaian bagi perempuan, mungkin dari sana kita bisa mendapatkan suatu solusi. Sebenarnya yang membuat klasifikasi ataupun aturan-aturan itu adalah kaum elit dan ningrat. Pada masyarakat bawah, tidak ada aturan-aturan normatif yang mengatur bagaimana perempuan itu berpakaian. Para perempuan pekerja dari dulu sudah memakai celana untuk memudahkan mereka dalam bekerja. Aturan atau klasifikasi tersebut dibuat oleh golongan ningrat dan elit untuk membedakan golongan mereka dengan golongan kelas bawah.


Kecenderungan Patriarki dalam Masyarakat
Unsur dasar dari ketidaksamaan gender dalam masyarakat yang bersumber pada terlalu kuatnya sistem patriarki yang berlangsung dalam masyarakat. Dan ini memungkinkan untuk menjadi salah satu penyebab terbentuknya aturan-aturan mengenai pakaian untuk kaum perempuan.
Max Weber[7] mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem pemerintahan yang mana kaum laki-laki mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala rumah tangga. Dan sistem tersebut dominasi dari para lelaki muda yang belum menjadi kepala keluarga juga tidak kalah pentingnya, jika tidak lebih penting dibandingkan elemen dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui rumah tangga.
Claudia Von Werlhof,[8] dengan perspektif radikal-historis menguraikan bahwa awal munculnya patriarki berasal dari “tradisi perang” di mana eksistensi patriarki dianggap tergantung sepenuhnya pada kelangsungan dan kesinambungan perang yang memposisikan kaum laki-laki sebagai kelas dominan karena kekuatan fisiknya. Perang juga mengakibatkan hancurnya sistem matriarki dalam masyarakat pra-perang. Dengan demikian logika patriarki merupakan logika perang yang berarti bahwa semua institusi sosial yang ditemukan dan diciptakan oleh patriarki secara prinsipil berasal dari pengalaman perang, baik dalam persoalan ekonomi, sosial-politik, maupun ketuhanan.
Ada pula pandangan kritis terhadap patriarki yang muncul dari para pemikir yang merupakan kelompok analisis sistem ganda. Kelompok ini berasumsi bahwa dasar patriarki ‘berjalan bersama’ dengan kapitalisme. Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa patriarki dan kapitalisme, karena dalam masyarakat feodal atau dalam masyarakat sosial sekalipun, patriarki itu suah ada. Kelemahan dari sistem ini adalah apakah mereka bisa dengan tepat untuk terus mempertahankan dualitas antara kapitalisme dan patriarki dalam analisisnya. Sedangkan para teoritis sistem ganda mempertahankan pembedaan patriarki dan kapitalisme dengan menekankan dua sistem tersebut pada level-level yang berbeda dari masyarakat, kapitalisme pada ekonomi dan patriarki pada ketidaksadaran.
Sementara itu, Walby mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik di mana laki-laki mendominasi, menekan, dan mengeksploitisir perempuan.[9] Gender bukanlah suatu pembagian yang dipaksakan oleh kelas dominan, dalam hal ini adalah laki-laki, tetapi ia telah menjadi sesuatu yang beroperasi melampaui resistensi dan menjadi sebuah consensus yang sangat alamiah dimana banyak kaum perempuan yang tidak menyadarinya
Menurut Walby[10], budaya patriarchal merupakan struktur yang diciptakan dari rangkaian beragam praktik-praktik patriarchal. Dalam dunia filsafat, agama pedidikan maupun norma-norma tradisi, perempuan seringkali menjadi subjek direndahkan, sementara laki-laki adalah subjek yang ‘berhak untuk berkuasa’.
Dari uraian diatas patriarki bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem struktur sosial dalam masyarakat yang sudah berlangsung dalam rentang historis yang cukup lama dan bertransformasi secara kontinyu dimana kaum laki-laki mempunyai posisi dominan dan dengan posisinya itu mereka melakukan eksploitasi terhadap perempuan yang mewujud dalam praktik sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam ruang privat maupun publik. Di sini terdapat suatu kekuatan yang hakiki bagi laki-laki untuk mengatur segala sesuatu mengenai perempuan; yang mana tata cara berpakaian pun terkandung di dalamnya, sehingga terdapat suatu justifikasi laki-laki terhadap perempuan, adanya tindakan pengaturan yang ketat dalam berpakaian untuk kaum perempuan.

Akhiran: Keanggunan Perempuan
Perkembangan pemikiran dan gerakan feminis memunculkan banyak perdebatan yang cukup hangat dalam lingkungan akademis. Pergulatan wacana tidak hanya terbatas pada tuntutan persamaan dalam praktik-praktik ekonomi, politik, sosial dan budaya yang nampak lebih menonjol untuk diperdebatkan, namun dalam hal pakaian pun kaum feminis menuntut adanya persamaan gender dan kebebasan untuk berekspresi dan mengeksplorasi diri.
Jika kita melihat perempuan kita pasti teringat akan sosok seorang ibu. Sosok ibu itu identik dengan sesuatu yang berhubungan dengan keanggunan dan kelembutan. Tata cara yang dibuat untuk mengatur pakaian-pakaian perempuan itu sebenarnya hanya untuk melindungi “keanggunan dan kelembutan” tersebut. Atau mungkin aturan tersebut muncul karena adanya kenderungan patriarki dalam kehidupan masyarakat.
Namun kadang perempuan tak ingin dibatasi. Bagaimana penilaian kita jika melihat sosok seorang ibu yang mengasuh anaknya dengan pakaian yang nyentrik? Atau bagaimana jika kita melihat seorang ibu rumahtangga dengan pakaian yang kurang sopan? Atau melihat seorang gadis dengan pakaian sedikit terbuka? Satu hal yang pasti keluar dari pikiran kita adalah men-judge ibu dan gadis itu sebagai perempuan yang kurang baik atau bahkan berperangai buruk, walaupun kita sendiri tidak mengenal ibu atau gadis tersebut secara personal.
Satu contoh lagi, dan ini berdasarkan interview langsung dengan rekan-rekan lawan jenis saya yang berada di Jakarta. Mayoritas mereka memiliki pasangan yang berjilbab. Ketika saya menanyakan hal ini, mereka memberikan alasan bahwa perempuan yang berjilbab adalah perempuan yang baik, perempuan yang bisa menjaga dirinya dengan baik dan memiliki pengetahuan tentang agama dengan baik sehingga bisa terjamin semua tingkah laku dan kepribadiannya; sedangkan perempuan-perempuan di Jakarta yang berpakaian ala kadarnya, sedikit terbuka dan lebih ekspresif dalam berpakaian itu cenderung perempuan yang kurang baik, karena dalam berpakaian pun mereka tidak bisa menjaga auratnya dan pastinya dalam pergaulannya pun mereka kurang bisa menjaga diri. Sebenarnya ini hanya justifikasi yang sepihak. Seseorang tidak bisa dinilai bagaimana dia berpakaian dan sejauh mana dia bisa menjaga dirinya. Itu tidak bisa dilihat dari pakaian apa yang dia pakai. Dan justifikasi yang sepihak itu diberikan berdasarkan sudut pandang ideologi agama, adat dan budaya. Perempuan yang baik adalah perempuan yang bisa menjaga dirinya dengan baik. Baik dari sikap, tingkah laku maupun cara berfikir.




A cup of engagement’s Tea for my family
19 Juni 2007
Indah Rephi
23919/IV/-13/9/06

Matakuliah : Gender dan Kebudayaan
Dosen Pengampu: Dr. Wening Udasmoro

DAFTAR PUSTAKA



McCracken, Grant. “Clothing as Language : An Object Lesson in the Study of the Expressive Properties of Material Culture” dalam Culture and Consumption. New Aproaches to the Symbolic Character of Consummer Goods and Activities. Indiana University Press, 57- 70: 1998.

Peirce, Charles S, “Logic as Semiotics : The Theory Of Sign” yang diedit oleh Robert Elnnis (1986) dalam “Semiotics : An Introductory Anthology” Hutchinson University Library, h.1

Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.

Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.






[1] [1] Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.
[2] Charles S. Peirce, “Logic as Semiotics : The Theory Of Sign” yang diedit oleh Robert Elnnis (1986) dalam “Semiotics : An Introductory Anthology” Hutchinson University Library, h.1
[3] Dalam artikel yang ditulis oleh Grant McCracken yang berjudul “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture,” tertulis bahwa beberapa observer melakukan penelitian terhadap pakaian yang dikenakan oleh beberapa negara menyatakan bahwa pakaian itu merupakan suatu bahasa.
[4] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[5] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[6] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[7] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[8] Claudia von Werlhof, “Capital Patriarchy and the Struggle for a ‘Deep’ Alternative”, makalah yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional bertajuk A Radically different world view is possible. The gift-economy inside and outside Patriarchal Capitalism, Las Vegas, USA, 13th-14th of November 2004, diakses dari http://uuhome.de/global/downloads/LasVegas.pdf.

[9] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[10] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.

Harajuku & punk

Punk dan Harajuku
Pergantian Tren Fashion di Indonesia




Awalan

Era globalisasi sedikit banyak membawa dampak tersendiri dalam kehidupan masyarakat di suatu komunitas atau bahkan di suatu negara. Begitu pesatnya kemajuan dalam sistem informasi dan teknologi menjadi tonggak terjadinya perubahan itu sendiri. Seiring pesatnya kemajuan teknologi memberikan kemudahan dalam sistem informasi. Dengan semakin canggihnya sistem informasi mempermudah kita dalam mengetahui apa saja yang terjadi di setiap penjuru dunia dan segala perubahaannya. Tidak hanya perubahan dalam bidang ekonomi, politik saja tetapi dalam gaya hidup dan fashion yang tentu saja sedikit banyak membawa pengaruh tersendiri dalam dunia fashion dan life style di suatu negara. Salah satu pendukung perubahan tersebut adalah televisi. Televisi memberikan pengaruh tertentu dalam mempopulerkan gaya dan mode fashion. Memberitakan ke masyarakat luas pakaian apa saja yang sedang menjadi tren saat ini.
Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer dan manufaktur massa dari pakaian yang memungkinkannya menjadi bagian dari kebudayaan populer. Berpakaian yang fashionable seperti suatu fenomena massa yang populer dan seperti suatu aktivitas kesenangan tersendiri telah dipengaruhi oleh aktivitas kesenangan lainnya dari “mesin waktu” yaitu olahraga, musik, film dan televisi, yang mana semuanya memproduksi cara baru dalam berpakaian. Jurnalisme, periklanan dan fotografi berperan sebagai sendi engsel komunikasi massa yang menggabungkan fashion ke dalam kesadaran populer.
Indonesia sendiri merupakan suatu negara yang ‘gampang’ mengadaptasi fashion dan gaya hidup dari negara lain. suatu negara yang mengikuti terus arus tren. Trend fashion dan lifestyle ala Punk dan Harajuku pun membooming di Indonesia akhir-akhir ini, terutama di kalangan remaja. Sebuah pertanyaan yang menggelitik, “ kapan Indonesia bisa menjadi trend center, yang menonjolkan identitas diri sebagai bangsa yang multikultural?”. Setiap gaya pakaian dan juga gaya hidup selalu mengalami perubahan, pergeseran, pergantian dan kemunduran, tergantung dari gaya apa yang sedang trend saat ini di negara-negara trend center. Di dalam tulisan ini akan di kaji perubahan antara gaya Punk dan Harajuku yang sempat membooming beberapa waktu terakhir ini di Indonesia.


Fashion sebagai Bahasa

Pakaian merupakan suatu konfirmasi perubahan dan kadang-kadang suatu inisiasi dari perubahan. Pakaian kadang merupakan suatu makna dari dasar yang natural dan terma-terma konflik politik dan kadang merupakan suatu makna menciptakan konsensus. Kadang pakaian juga merupakan suatu instrument percobaan untuk mendominasi dan suatu gudang persenjataan untuk melakukan perlawanan dan protes.
Pakaian merupakan materi budaya di dalam suatu mode dinamis yang aktif. Di dalam aturan diakronis, pakaian disajikan sebagai suatu alat komunikasi melalui perubahan sosial yang direnungkan, diusulkan, diinisiasikan, diselenggarakan dan ditolak. Pakaian membuat materi budaya pada cara yang berbeda dan cara yang jelas.
Ada suatu karakteristik tersendiri mengenai pakaian ketika dijadikan suatu jalan yang digunakan sebagai kiasan tertentu ketika melihat pakaian dari aspek ekspresif. Literatur kritis menyatakan bahwa pakaian merupakan suatu jenis bahasa.[1] Beberapa observer telah melakukan penelitian terhadap pakaian-pakaian yang dikenakan oleh rakyat dari beberapa negara. Bogatyrev mencatat kemiripan antara kostum rakyat Moravian dan bahasa (1971:84). Turner menyebut bahasa tubuh Tehikrin suatu jenis “symbolic language/bahasa simbolis” (1969:96), Wolf berbicara tentang kosakata system simbolis dari kostum perkabungan orang China (1970:189). Panggilan kotor jubah orang Ethiopia merupakan suatu “bahasa nonverbal” (1960:558), dan Nash mengacu pada satu aspek pakaian jaman sekarang sebagai suatu “silent language/bahasa diam” (1977:173). Sahlins membandingkan pakaian sebagai sesuatu yang terperinci dan mengacu pada “sintaks,” “semantics,” dan “tatabahasa/grammar,” dari pakaian (1976:179). Neich lebih memfokuskan dalam perbandingan dan advokasi-advokasi manfaat dari suatu “model linguistik secara eksplisit” untuk studi dekorasi-diri New Guinea (1982:214). Tendensi ini untuk membandingkan pakaian ke bahasa itu tidak terbatas hanya pada studi-studi antropologi; pemikiran ini juga terdapat pada pemikiran dari para ilmuwan sosial lainnya.[2]
Perbandingan bahasa dan pakaian tidak selalu diharapkan dengan tingkatan yang sama dengan sesuatu hal yang serius. Kadang ini disajikan hanya seperti sebuah ornament rhetorical. Bahkan kiasan/metafor digunakan lebih penuh arti, sulit untuk menyalahkan refleks dari sumbernya. Karena itu kata kiasan sangat menolong, dan ini berhasil di dalam memperjelas properti-properti tertentu yang diberikan oleh pakaian dan bahasa. ini juga nyata bahwa perbandingan bahasa dan pakaian telah memberikan banyak pekerjaan dan kemajuan di dalam antropologi baru-baru ini. Hal ini berlanjut di dalam tradisi penerapan model-model linguistik ke studi fenomena linguistik (e.g., Levi-Strauss, 1963).[3]
Masih harus diamati bahwa metafor yang digunakan secara bebas telah memulai untuk “diam” dan menerima pada perbaikan kebijaksanaan konvensional. Apa yang lebih nyata dan menjelaskan gagasan persamaan dan pernyataan yang lebih dari fakta yang nyata. Akhir-akhir ini pengembangan dalam sejarah metafor yang secara radikal merubah nilai-nilainya sebagai suatu alat rethorikal dan instrumen akademis. Sebagai suatu “kiasan mati/dead metaphor” yang mengurangi sikap kritis dalam menstimulasi pancaindra yang imajinatif.
Sudah waktunya untuk mengabaikan atau memperbaiki suatu metafor. Hal ini diperlukan untuk menguji hubungan antara pakaian dan bahasa dan menentukan dimana persamaan-persamaan itu dipegang dan dimana perbedaan-perbedaan itu ada. Perlu dilakukan penelitian yang cermat dalam meneliti metafor baru yang menjanjikan suatu ide yang lebih jelas dari properti-properti ekspresif mengenai pakaian dan kejadian-kejadian yang lain mengenai materi kultur yang yang memberikan dukungan untuk budaya.
Jakobson dan Halle (1956:58-62) mengimplikasikan operasi dari dua prinsip linguistik (ef. De Saussure 1966: Barthes 1967).[4] Salah satu prinsipnya, ketika pembicara memilih suatu unit linguistik dari setiap kelas paradigmatik untuk mengisi setiap “slot” korespondensi yang membuat kalimat. Setiap kelas berisi semua unit yang secara potensial mengisi slot yang sama di dalam suatu kalimat. Unit-unit ini mampu mengganti satu untuk yang lain dan oleh karena menikmati suatu ekuivalensi (kesamaan) hubungan. Tapi mereka juga digambarkan oleh perbedaan mereka kepada orang lain dan oleh karena menikmati suatu hubungan yang kontras. Unit-unit dari setiap kelas paradigmatik mungkin dipandang sebagai suatu bidang vertikal yang tidak semuanya berlainan ke tingkah laku kemudi dari mesin slot. Beberapa unit yang berbeda dalam sebuah kalimat secara tertutup dihadiri oleh semua unit yang lain dari kelas tersebut dan memanfaatkan sistem kontras dari setiap represent kelas-kelas tersebut.
Prinsip linguistik yang ke dua, bahwa kombinasi, terjadi ketika pembicara mengkombinasikan unit-unit yang dipilih dari kelas-kelas paradigmatic ke dalam suatu rantai sintagmatis. Rantai ini berisi slot-slot yang beragam untuk alternatif-alternatif paradigmatik yang ada. Aturan-aturan kombinasi menetapkan bagaimana unit-unit dikombinasikan ke dalam suatu rantai sintagmatik. Ini adalah bidang horizontal bahasa yang memberikan bahasa linearnya, yaitu aspek diskursif. Beberapa rantai sintagmatis membuat suatu konteks percontohan yang peranan-peranan pada makna disetiap unitnya dimasukkan ke dalam speech (logat). Unitnya siap digambarkan oleh hubungan-hubungan paradigmanya, mengalami suatu proses definisi lebih lanjut ketika unit bergabung dengan item-item yang lain dalam suatu rantai sintagmatis.
Kode dari beberapa bahasa tertentu terkandung dalam suatu spesifikasi unit-unit dari kelas-kelas paradigmatik dan aturan-aturan untuk kombinasi sintagmatisnya. Kode menetapkan bagaimana prinsip-prinsip seleksi dan kombinasi digunakan pada beberapa latihan linguistik tertentu.
Setiap pembicara dari suatu bahasa dibatasi dan dikuasai oleh kode yang memberitahukan kegunaan bahasanya. Seseorang diharuskan memilih cara yang membedakan fitur-fitur yang telah digambarkan dan dikombinasikan ke bentuk fonem. Seseorang diharuskan memilih cara yang mana fonem-fonem telah digambarkan dan dikombinasikan ke bentuk morfem. Kreasi kalimat yang keluar dari morfem juga dibatasi tapi disini pembicara menikmati suatu kemampuan bebas-menentukan yang terbatas dan kebebasan kombinatorial. Kemampuan bebas-menentukan meningkat ketika pembicara mengkombinasikan kalimat-kalimat kedalam ucapan-ucapan. Dengan langkah ini tindakan peraturan wajib mengenai kombinasi semuanya telah berhenti sama sekali. Pembicara tidak lama dibatasi tapi bebas dalam aktivitas kombinatorialnya. Jakobson dan Halle menunjuk ke karakteristik bahasa ini sebagai “suatu skala menaik dari kebebasan” (1956:60). Pada skala dasarnya pembicara dibatasi secara penuh, pada puncaknya dia (laki-laki atau perempuan) sepenuhnya bebas. Karakter bahasa yang rangkap ini yang membiarkannya untuk berdiri sebagai suatu kolektif dan makna sistematis dari komunikasi dan sebagai suatu instrument dari berbagai ekspresif yang potensial terus-menerus.
Model bahasa diilustrasikan oleh Neich (1982) di dalam studi dekorasi-diri di Mount Hagen New Guinea.[5] Meich berpendapat bahwa kita harus memperlakukan dekorasi-diri ini sebagai suatu kode yang menetapkan pilihan-pilihan yang sesuai untuk kombinasi sintagmatik. Seorang Hagener memilih suatu unit dekoratif dari setiap kelas paradigmatik dan mengkombinasikannya ke dalam suatu rantai sintagmatis, perlengkapan pakaiannya. Apakah Hagener tersebut merupakan seorang pendonor, membantu donor, prajurit dan sebagainya, bisa dibaca oleh observer dari dekorasi tubuhnya. Bagi Neich, dekorasi ini menunjukkan prinsip-prinsip bahasa. Dia membantah bahwa dekorasi-diri Hagener, diuji dilihat dari sudut pandang suatu model linguistik struktural, mengungkapkan seperti karakter bahasa, dan kita bisa menyebutnya suatu “ semiotik atau sistem mengenai tanda” (1982:217) (cf. Barthes 1967:111).
Menurut Grant McCracken aplikasi dari model linguistik struktural ke pakaian itu meragukan. Ketika pakaian menyerupai bahasa di dalam beberapa testimonial, meninggalkannya di dalam suatu cara yang fundamental. Ironisnya, ketika pakaian secara penuh menyesuaikan ke bahasa dan prinsip-prinsipnya mengenai seleksi dan kombinasi, sepenuhnya gagal sebagai suatu alat semiotik. Atau dengan cara yang lain, ketika pakaian sebagai suatu kode itu hampir menyerupai bahasa, hanya sedikit yang berhasil sebagai alat komunikasi. Terdapat perluasan suatu perbedaan yang fundamental antara bahasa dan pakaian. Perbedaan ini harus diperhitungkan jika kita akan membuat suatu pengujian yang sukses mengenai aspek komunikatif dari bahasa.
Yang sesuai untuk memecahkan kode perilaku adalah semacam kode yang khas dari pakaian. Pakaian sebagai alat komunikasi tidak mempunyai aspek sintagmatis yang asli. Kode tidak memberikan aturan-aturan kombinasi untuk manipulasi seleksi-seleksi paradigmatik ke efek-efek semiotik. Kombinasi unsur-unsur pakaian bukan suatu bagian krusial dari kreasi pesan-pesan yang diberikan oleh pakaian. Kode tidak mempunyai kapasitas generatif. Para penggunanya menikmati bukan kebebasan kombinatorial.

Kode pakaian yang menggunakan terma-terma dari poin yang diberikan oleh Jakobson, hampir semuanya dibatasi. Tidak memiliki suatu kebebasan dalam skala naik. Kode yang ditetapkan tidak hanya komponen-komponen dari pesan, tapi juga pesan-pesan mereka sendiri. pesan-pesan ini datang, seolah-olah seperti sebelum dibuat (pre-fabricated). Karena pemakai tidak memiliki kebebasan kombinatorial, interpreter dari pakaian menguji suatu prelengkapan tidak untuk suatu pesan baru tapi untuk sesuatu yang kuno/lama yang ditetapkan oleh konvensi. Kebebasan kombinatorial bisa dilatih oleh pemakai hanya dengan efek yang membingungkan interpreter. Kebebasan kombinatorial tidak bisa coba dalam pakaian tanpa melepas pakaian ini dari potensi dan efek kombinatorialnya.

Aspek dari kode pakaian diantisipasi oleh Jakobson. Pada sebuah artikel berjudul “Language and its Relation to Other Communication System” (1971)[6], Jakobson membantah bahwa untuk alat-alat komunikasi non-linguistik tertentu, kode merupakan suatu koleksi pesan-pesan dibandingkan suatu alat untuk kreasi mereka. tidak sama dengan bahasa, yang menetapkan tanda dan aturan untuk kombinasinya ke dalam pesan-pesan, sebuah sistem seperti halnya pakaian memberikan peluang yang tidak generatif, dan oleh karena itu harus menetapkan kemajuan dari tindakan komunikasi apapun pesan-pesan yang mana kodenya itu mampu (cf. Culler 1975:3-54).[7]

Dari teori-teori mengenai pakaian sebagai bahasa, bisa kita lihat dalam fashion yang disajikan dalam gaya punk dan Harajuku. Fashion merupakan suatu tanda. Fashion juga merupakan bahasa. suatu tanda ekspresi diri, sebagai bahasa dalam mengungkapkan sesuatu. Seperti pemakaian rantai, tindik, tato, gaya rambut dan pakaian yang dikenakannya. Di negara asalnya, Fashion dan gaya hidup Punk dan Harajuku digunakan sebagai simbol resistansi, ideologi dan pemberontakan mengenai sistem pemerintahan dan kultur yang digunakan di negara asalnya.



Fashion di Indonesia : Adaptasi dari negara lain
Tak begitu banyak dasar kelahiran fashion baru yang berasal dari bangsa Indonesia sendiri. Padahal Indonesia kaya akan adat dan budaya, sebuah bangsa yang multukultural, yang tentunya beragam pula pakaian-pakaian daerah yang dimiliki. Ini sangat layak untuk diangkat kepermukaan. Namun, banyak yang beranggapan bahwa pakaian tradisional hanya pantas atau layak dipakai pada momen-momen tertentu, seperti dalam pelaksanaan upacara adat, acara pernikahan dan acara penting lainnya. sebenarnya untuk mengubah kekakuan budaya dalam berpakaian itu tidak terlalu sulit, hanya saja kita perlu sedikit merubah gaya atau mode pakaian tradisional agar terlihat nyaman, santai dan trendy, disesuaikan dengan jiwa para kawula Indonesia. Hal ini bisa terlihat dari beberapa desainer yang membuat kebaya dengan berbagai mode, memadu-padankan dengan pakaian modern lainnya. Kain batik yang biasanya dipakain untuk acara-acara formal, dipermak sedikit menjadi gaun santai untuk dirumah atau pakaian untuk acara santai lainnya. Namun tetap saja ada kendala untuk mensosialisasikannya, atau mungkin jiwa nasionalisme sudah sedikit memudar. Mungkin orang Indonesia kurang begitu berani mengekspresikan dirinya sebagai suatu bangsa yang multikultural, terpaku dalam sebuah kekakuan budaya. Mayoritas mode fashion diadaptasi dari negara-negara lain seperti Inggris, Amerika, Jepang atau China yang memang sedang tren di negara tersebut. Begitu banyaknya adaptasi fashion dari negara lain membuat suatu “kebingungan” tersendiri bagi bangsa Indonesia, khususnya kawula muda, untuk menemukan identitas diri sebagai bangsa Indonesia.


punk style

Punk adalah semacam gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja, merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Punk juga bisa diartikan sebagai jenis musik atau genre yang lahir pada awal tahun 1970-an. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek sosial dan politik. Punk segera merambah Amerika yang pada saat itu mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi.
Banyak yang menyalahartikan punk sebagai glue sniffer dan perusuh karena di Inggris pernah terjadi wabah penggunaan lem berbau tajam untuk mengganti bir yang tak terbeli oleh mereka. Banyak pula yang merusak citra punk karena banyak dari mereka yang berkeliaran di jalanan dan melakukan berbagai tindak kriminal.
Punk lebih terkenal dari hal fashion yang dikenakan dan tingkah laku yang mereka perlihatkan, seperti potongan rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.
Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosial dan bahkan masalah agama.



harajuku style

Hampir menyerupai Punk, Harajuku merupakan suatu gaya baru yang serba ‘tabrak’, baik dalam warna maupun mix and match berpakaian dan juga gaya rambut. Gaya ini berasal dari Jepang, yang hadir menjadi trend dunia setelah beberapa waktu gaya Punk ‘berkuasa’ di dunia fashion dan life style. Harajuku merupakan aliran fashion yang berasal dari jepang. Harajuku sendiri sebenarnya merupakan suatu kawasan kecil di Tokyo. Merupakan sebuah tempat berkumpulnya anak-anak muda dengan dandanan yang ekspresif, nyentrik dan “aneh”. Harajuku merupakan sebuah kawasan yang ramai, disesaki oleh toko-toko dan para pemberontak busana yang dalam bahasa positifnya disebut “trend setter“. Busana yang sangat tidak Jepang tetapi di saat yang bersamaan, sangat Jepang. Harajuku style adalah suatu simbol pembrontakan anak-anak muda Jepang terhadap tradisi yang ada dalam budaya Jepang. Harajuku merupakan ikon pemberontakan gaya busana di Jepang. Gaya ini muncul di era tahun 80-90-an.

Psikolog brilian asal Rusia, Pavel Semenov, menyimpulkan bahwa manusia memuaskan kelaparannya akan pengetahuan dengan dua cara. Pertama, melakukan penelitian terhadap lingkungannya dan mengatur hasil penelitian tersebut secara rasional (sains). Kedua, mengatur ulang lingkungan terdekatnya dengan tujuan membuat sesuatu yang baru (seni). [8]

Dari definisi diatas, punk dan harajuku dapat dikategorikan sebagai bagian dari dunia kesenian. Gaya hidup dan pola pikir para pendahulu punk dan harajuku mirip dengan para pendahulu gerakan seni avant-garde, yaitu dandanan nyleneh, mengaburkan batas antara idealisme seni dan kenyataan hidup, memprovokasi audiens secara terang-terangan, menggunakan para penampil (performer) berkualitas rendah dan mereorganisasi (atau mendisorganisasi) secara drastis kemapanan gaya hidup. Para penganut awal kedua aliran tersebut juga meyakini satu hal, bahwa hebohnya penampilan (appearances) harus disertai dengan hebohnya pemikiran (ideas).




Pergantian trend di Indonesia : dari punk style ke harajuku style

Di Indonesia gaya punk hadir terlebih dahulu. Menghebohkan dunia fashion anak muda di Indonesia. Mereka berlomba-lomba bergaya ala punk. Dari pakaian, gaya rambut, aksesoris dan bahkan banyak pula diantara mereka yang mengikuti gaya hidup ala punk, yaitu anti-kemapanan, yang tercermin dalam hidup mereka yang menggelandang dan berpakaian punk, menjadi pengamen, anak jalanan, pemabuk dan ada pula yang melakukan tindakan criminal. Gaya ini kembali meledak di Indonesia pada awal tahun 2000, dengan gaya yang lebih fashionable, nyentrik namun elegan. Punk yang dulu terkesan kucel, bau dan jarang mandi, sekarang lebih bergaya, modis dan wangi.

Para desainer dan hairstylist berlomba membuat kreasi baru dari gaya Punk ini. Dengan metode mix and match, mamadu-padankan pakaian agar terlihat lebih menarik. Untuk wanitanya, biasanya menggunakan rok denim dipadukan dengan celana legging yang ketat dengan atasan kaus singlet dan jaring-jaring (seperti jaring yang digunakan untuk menangkap ikan) yang sedikit dirobek; sepatu boot ala army. Dengan aksesoris ikat pinggang yang terbuat dari kulit yang diberi pernik-pernik paku dari monel atau besi; kalung yang terbuat dari rantai atau dari kulit yang diberi aksen paku yang runcing; gaya punk dulu pada lidah, hidung dan telinganya penuh tindik, bahkan bibir dan pusar pun tak luput dari tindikan, namun sekarang punk berfungsi sebagai fashion yang harus fashionable jadi tindik tak perlu dilakukan hanya saja keberanian bereksperimen dalam berpakaian dan aksesoris lebih ditonjolkan; memakai sarung tangan yang juga terbuat dari jaring-jaring yang dirobek; tak luput pula make-up yang tebal dengan eye-liner dan lipstick yang berwarna hitam atau gelap ala gothic. Untuk prianya, biasanya memakai jaket denim yang diberi sedikit aksen paku-paku dan gambar-gambar punker dengan kaus yang bermotif sama; memakai celana jeans yang ketat, sedikit dekil dan robek atau celana ketat bermotif kotak-kotak dan tak lupa sepatu boot army-nya. Aksesorisnya tak jauh beda dengan yang dikenakan oleh wanitanya. Gaya rambut mohawk ala suku indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang. Atau juga gaya rambut spike yang runcing-runcing. Gaya ini benar-benar digandrungi oleh para remaja Indonesia.

Setelah beberapa waktu gaya punk berjaya, masuklah Harajuku ke Indonesia. Menggeser gaya lama ke gaya baru. Para pecinta tren berlomba meninggalkan gaya lama mereka yang terkesan ‘punk abis’ ke tren yang lebih up to date, harajuku style. Suatu gaya baru yang lebih ektrim dalam pemakaian warna, baik dalam berpakaian, gaya rambut maupun aksesorisnya. Para pakar rambut membuat rambut anak muda lebih ekspresif dengan model dan warna rambut yang sekarang. Kebosanan yang timbul dari model rambut lurus kaku dan panjang ini menimbulkan tren yang lebih natural. Rambut bergelombang dan mengembang merupakan tren yang sangat kontradiktif dari tahun lalu. Model potongan rambut asimetris, gemetrik, spike dan ditambah dengan warna-warna rambut yang lebih berani mengekspresikan jiwa anak muda yang dinamis, ekspresif, jiwa pemberontak dan sulit diatur. Konsep potongannya, cenderung berantakan, berani, dan unik. Di Jepang, potongan rambut seperti ini memang sedang mewabah. Jepang, Korea, dan Hongkong kini memang jadi kiblat mode Asia. Gaya remaja di sana yang inovatif dan berani sering jadi contekan buat remaja di Indonesia.
Pakaiannya pun tak jauh berbeda dengan Punk, hanya saja Harajuku tampil lebih berani. Misalkan untuk wanitanya berpakaian ala Sailormoon, busana bernuansa gothic, Cinderella berwajah drakula dengan mengenakan sepatu boot high heels. Untuk prianya misalkan bergaya ala pakaian pangeran Inggris dengan menggunakan kalung dan ikat pinggang rantai, dan bermake-up tebal ala gothic tapi memakai listic warna merah; rambut yang di potong asimetris dan berwarna merah muda dan hijau, sungguh kontras sekali dengan keadaan yang sebenarnya. Pirantinya pun dengan menggunakan rambut imitasi warna-warni, kuku temple, cat muka, busana ultra negong, tato tempelan, butiran plasitik kerlap-kerlip (glitter), hingga gigi drakula dan tak lupa memakai jangkar kapal yang dipadu dengan stocking merah jambu.



Fashion dan Kebudayaan Populer

Ekspansi ekonomi membuat perubahan dalam segala bidang. Tak hanya dalam hal produksi namun juga konsumsi. Ekspansi ekonomi menjadi dasar revolusi dalam kebiasaan, kepercayaan dan pengalaman sehari-hari, bahkan sekarang fashion itu sendiri menjadi suatu media untuk mengekspresikan nilai-nilai modernitas.[9] dalam perubahan gaya punk dan Harajuku, terdapat suatu pergerakan dari display ke identitas, yaitu identitas mengenai modernitas. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer dan memungkinkannya menjadi bagian dari kebudayaan populer.
Sekitar abad 19 dan abad 20-an terjadi perubahan fungsi dan mode pakaian, baik wanita maupun pria, sebagai simbol identitas diri. Pakaian menjadi identitas gender bagi wanita dan pria. Pria dengan pakaian celana dan kemeja panjangnya; sedangkan wanita dengan pakaian gaun panjangnya. Pada abad ke-19, terjadi perubahan besar dalam dunia fashion, suatu pergerakan penampilan menjadi identitas. Fashion dijadikan sebagai tanda member dari suatu kelas, caste atau pekerjaan. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer dan manufaktur pakaian massa yang memungkinkannya untuk menjadi bagian dari kebudayaan populer. [10]

Suatu single style tidak akan lama mendominasi dalam periode postmodern. Sebagai gantinya ada cara konstan untu mengkreasikan kembali suasana. Bagi beberapa puritan yang radikal, pada sisi lain, fashion tidak pernah lebih dari ‘democracy of the image’, suatu fatamorgana yang menyesatkan keinginan ‘riil’ kita dengan mengubah mereka ke dalam komoditas, dan individualitas ke dalam konformitas (penyesuaian). Fashion-fashion massa (masyarakat) dari sudut pandang ini hanya uniform suatu masyarakat belaka dalam suatu demokrasi yang hanya sebuah kata dengungan saja, dan melayani hanya untuk menyembunyikan ketidaksamaan kekayaan dan kesempatan. Mereka telah menguraikan beragam jenis entertainmen populer sebagai tempat struggle (perlawanan), sebagai arena di mana konflik masyarakat dimainkan dalam bentuk-bentuk semi-simbolik yang mungkin lebih tinggi (heighten) dari pada drug yang menekan kesadaran. Fashion sebagai kolektif sama seperti suatu perusahaan yang sangat individualistic, sebuah makna-makna ekspresi pada suatu solidaritas skala masyarakat dan identitas kelompok.

Di negara asalnya, Punk merupakan gerakan subkultur di Inggris pada tahun 1970-an. Awalnya, punk merupakan suatu gerakan ideologis. Gerakan ini diawali oleh anak-anak golongan kelas pekerja yang akhirnya merambah ke Amerika. Punk merupakan suatu gerakan yang menentang ideologi politik, ekonomi dan sosial yang dianut dalam sistem pemerintahan negara tersebut. Kesenjangan sosial dan ekonomi dan juga kemerosotan moral membangkitkan semangat perlawanan terhadap invasi kapitalis dan tentunya juga terhadap para penguasa dan petinggi negara. Mereka melakukan protes dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang berisikan kritikan-kritikan pedas. Punk pun selanjutnya berkembang sebagai buah kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik yang pada saat itu didominasi oleh musisi rock mapan seperti The Beatles dan Rolling Stone. Lagu-lagu punk nampak seperti teriakan protes demonstran terhadap kejamnya dunia yang dikuasai pihak kapitalis dan penguasa. Lirik-lirik lagu punk yang menceritakan rasa frustasi, kemarahan, kejenuhan berkompromi dengan hukum jalanan, pendidikan rendah, kerja kasar, pengangguran serta represi aparat, pemerintah dan figur penguasa terhadap rakyat; akibatnya punk dicap sebagai musik rock n’roll aliran kiri, punk dianggap sebagai pemberontak, sehingga punk sulit mendapatkan kesempatan untuk tampil di acara televisi. Perusahaan-perusahaan rekaman pun enggan mengorbitkan mereka.[11]
Tindakan ekstrim punk tak hanya dalam musik, namun juga melakukan protes cara yang lain. Mereka mengharamkan memakai produk-produk yang bermerek yang di produksi oleh pihak kapitalis. Mereka lebih menyukai hidup sebagai “gembel” di jalanan, makan makanan bekas yang mereka pungut dari tong sampah atau sisa makanan orang lain; berpakaian sederhana, yang ketat dan sedikit robekan dan bahkan ada yang menambahkan kantung plastik sebagai “aksesoris”. Ideologi anarkisme yang diusung oleh punk dimaknai bahwa anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam kehidupan sehari-hari, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai dengan keinginan mereka. punk etika semacam ini disebut dengan DIY (Do It Yourself). Keterlibatan kaum punk dalam ideologi anarkisme ini akhirnya memberikan warna baru dalam gerakannya.
Tak dapat dimengerti, mengapa gaya berpakaian seperti ini bisa menjadi suatu tren, apa lagi sampai diadaptasi oleh negara-negara lain. Yang jelas, punk berusaha membebaskan sesuatu yang membelenggu pada zamannya masing-masing. Namun sekarang punk hanya sekedar gaya. Sebuah gaya yang menonjolkan sisi kepercayaan diri seseorang dalam kemampuannya mengikuti arus tren. Punk merupakan komodifikasi gaya berpakaian sebagai usaha pemilik modal. Dalam hal ini, pihak kapitalis-lah yang mendapat keuntungan dari tren gaya punk, karena pihak kapitalis yang menyediakan, merubah dalam bentuk baru yang lebih layak dan menarik; mengkomodifikasi dan mengangkat sebuah gaya fashion kepermukaan dalam bentuk tren baru yang wajib diikuti. Tetapi walaupun begitu punk tetap sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya modern yang serba seragam. Menunjukan idealisme seseorang dalam berpakaian. Menunjukkan bahwa keseragaman budaya modern hanya sebagai bentuk pengekangan diri yang ekspresif. Dan ini serupa dengan gaya Harajuku,yang memprotes kekakuan dalam budaya Jepang yang ditunjukkan dengan cara berpakaian mereka.



Akhiran

Gaya hidup itu relatif, tidak ada seorangpun yang memiliki gaya hidup sama dengan lainnya. Ideologi diambil dari kata "ideas" dan "logos" yang berarti buah pikiran murni dalam kehidupan. Gaya hidup dan ideologi berkembang sesuai dengan tempat, waktu dan situasi maka punk kalisari pada saat ini mulai mengembangkan proyek "jor-joran" yaitu manfaatkan media sebelum media memanfaatkan kita. Dengan kata lain punk dan harajuku berusaha membebaskan sesuatu yang membelenggu pada zamannya masing-masing.

Pada awalnya gaya Harajuku dan Punk itu merupakan suatu bentuk pemberontakan. Sebagai simbol kritikan terhadap kekakuan budaya dan ideologisme suatu negara. Punk mengekspresikannya dalam cara berpakaian dan gaya hidup untuk menentang militarisme dalam negara, mengkritik korupsi dan kesewenang-wenangan para petinggi negara dan menentang kaum kapitalisme. Tak hanya dalam berpakaian, mereka juga melakukan kritikan dalam bentuk syair lagu yang mereka buat. Sedangkan Harajuku, tak jauh berbeda dengan Punk, melakukan kritikan terhadap kekakuan dalam berbusana pada budaya Jepang dan mengekspresikannya dalam berbusana. Selain itu, sebagai pelepas kejenuhan ketentuan, aturan dan kesibukan negara Jepang.
Namun bagi negara lain, negara yang mengadaptasi gaya-gaya tersebut, itu tak lebih hanya sebuah tren saja. Suatu mode terbaru yang wajib diikuti, karena kalau tidak pastilah akan dianggap kuno atau ketinggalan jaman. Kontras sekali dengan keadaan yang sesungguhnya bukan?
Namun apakah ini juga berlaku untuk Indonesia? Sebuah bangsa yang hanya mampu meniru apa yang sedang in di negara lain (di sini adalah fashion dan life style). Jika kita mau meninjau kembali, mengkaji ulang, menggali dan memunculkan kepermukaan, sebenarnya Indonesia sendiri memiliki point yang tidak dimiliki oleh negara tren senter, yaitu keragaman budaya. Bisa kita lihat, begitu beragamnya pakaian adat dan gaya hidup masyarakat. Dengan itu, sebenarnya Indonesia juga mampu menjadi trend center. Tapi sepertinya bangsa Indonesia sendiri sudah kehilangan identitasnya sebagai suatu bangsa yang memiliki keragaman budaya yang melimpah. Atau mungkin bangsa Indonesia sendiri tidak mempunyai identitas sehingga dunia fashion-nya mengalami stagnasi dan hanya mampu mengadaptasi dari negara lain.
Gaya sebagai suatu cara hidup, sebagai diri sendiri dan gaya juga sebagai suatu kesenangan. Fashion sebagai kolektif yang sangat individualistic, sebuah makna-makna ekspresi pada suatu solidaritas skala masyarakat dan identitas kelompok. Fashion menjadi bagian dari kesadaran populer, dan manufaktur pakaian massa yang memungkinkannya untuk menjadi bagian dari kebudayaan populer. Fashion berubah dari display ke identitas.


Waiting For a Miracle, 16 Juni 2007
Indah Rephi
23919/IV-13/9/06
Matakuliah : Gaya Hidup dan Budaya Konsumen
Dosen Pengampu : Dr. Irwan Abdullah









DAFTAR PUSTAKA





McCracken, Grant. “Clothing as Language : An Object Lesson in the Study of the Expressive Properties of Material Culture” dalam Culture and Consumption. New Aproaches to the Symbolic Character of Consummer Goods and Activities. Indiana University Press, 57-70: 1998.

Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.

http://en.wikipedia.org/wiki/Gothic_Lolita

http://ndobos.com/archives/70

http://www.japaneselifestyle.com.au/tokyo/harajuku.htm

http://lautan.indosiar.com/topic.asp?TOPIC_ID=35578

http://www.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Gaul&id=113259
http://www.tokyoessentials.com/harajuku.html

http://id.wikipedia.org/wiki/Punk

[1] Dalam artikel yang ditulis oleh Grant McCracken yang berjudul “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture,” tertulis bahwa beberapa observer melakukan penelitian terhadap pakaian yang dikenakan oleh beberapa negara menyatakan bahwa pakaian itu merupakan suatu bahasa.
[2] Tinjauan pustaka yang dikutip dari artikel Grant McCracken (Gibbins 1971: Gibbins dan Schneider 1980; Holman 1980b, 1980c, 1981; Roach dan Eicher 1979; Rosenfeld dan Plax 1977) seperti halnya penulis-penulis populer lainnya (e.g., Lurie 1981).
[3] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[4] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[5] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[6] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[7] Dikutip dari artikel Grant McCracken : “Clothing as Language : An Objective Properties of Material Culture.”
[8] Di kutip dalam sebuah artikel yang berjudul “Punk” dari URL http://id.wikipedia.org/wiki/Punk
[9] Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.

[10] Wilson, Elisabeth. “Fashion and Popular Culture”, dalam Adorned in Dreams, Fashion and Modernity. Virago Press, 155-78:1987.
[11] Di kutip dalam sebuah artikel yang berjudul “Punk” dari URL http://id.wikipedia.org/wiki/Punk

FEMINISME DAN MEDIA : PEREMPUAN PEKERJA

Jika kita melihat seorang perempuan kita pasti teringat akan sosok seorang ibu. Ibu identik dengan keanggunan dan kelembutan. Mungkin karena itulah dibuat suatu aturan atau norma-norma yang “membatasi” ruang gerak perempuan untuk menjaga keanggunan dan kelembutannya. Namun kaum feminis menyebutnya sebagai suatu diferensiasi atau pembedaan perempuan dengan laki-laki. Suatu peraturan yang membatasi ruang gerak perempuan untuk berpartisipasi di segala bidang, membatasi perempuan untuk berkespresi dan mengeksplorasi diri. Mereka menganggapnya sebagai diskriminasi gender. Tapi sekarang sudah banyak gerakan kaum feminis yang menuntut kesetaraan gender, baik dalam rumah tangga, pekerjaan maupun organisasi dan bidang-bidang lainnya.

Perkembangan pemikiran dan gerakan feminis sekarang ini memunculkan predebatan akademis yang cukup hangat. Salah satunya adalah permasalahan ketidaksamaan dan ketidakadilan gender. Berbagai pergulatan dilakukan, perang wacanapun diluncurkan untuk menunjukkan eksistensi feminisme di seluruh dunia. Cerita-cerita tentang perempuan yang memperjuangan hak-haknya dan tuntutan dalam persamaan gender di segala bidang bahkan diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kaum perempuan sering sekali diangkat dalam wacana media. Selain berfungsi sebagai sarana yang informatif, edukatif dan hiburan; media juga berperan dalam sosialisasi feminisme dan media pendukung terjadinya gerakan feminisme.

Dalam wacana mengenai perempuan, media selalu mengangkat berita mengenai kekerasan perempuan dalam rumah tangga, penyiksaaan tenaga kerja wanita di luar negeri dan ketangguhan perempuan dalam kemelut hidup. Tema-tema wacana tersebut sudah menjadi suatu ‘sarapan pagi’ bagi media, karena memang kehidupan perempuan berputar disekitar tema tersebut. Gerakan feminisme di Indonesia kurang berani, karena selalu tersandung dengan ideologi agama dan budaya, kontras sekali dengan gerakan feminisme di negara Barat. Karena itulah media selalu menjadi penengah bagi kemelut yang di hadapi gerakan kaum feminis, sebagai wadah kritis dan perang wacana bagi kaum feminis dan golongan yang kontra lainnya. Melalui media, perempuan memberikan seruan, melalui media pula perempuan menuntut adanya persamaan gender, penghapusan diskriminasi dan perbedaan gender, baik dalam pekerjaan (ekonomi), rumah tangga, politik, sosial maupun budaya.

Kita pasti mengetahui bagaimana sulitnya kaum perempuan mendapatkan kesetaraan gender dalam dunia kerja. Walaupun sudah di serukan bahwa tidak ada lagi diskriminasi kerja bagi kaum perempuan, namun tetap saja klasifikasi perempuan dalam pekerjaan itu ada. Di Indonesia pada khususnya, dan di dunia pada umumnya, sebenarnya diskriminasi gender atau klasifikasi dan pembedaan gender antara perempuan dan laki-laki itu terjadi karena adanya kecenderungan patriarki dalam kehidupan masyarakat. Yang mana masyarakat berfikir bahwa perempuan harus ada dibawah laki-laki, laki-laki adalah pemimpin, seorang istri harus patuh pada suami. Dalam dunia kerja pun terdoktrinasi bahwa perempuan itu lemah, perempuan mempunyai siklus menstruasi, hamil, melahirkan, mengasuh anak dan mengurus suami sehingga menjadi kendala dalam efisiensi kerja. Namun apakah hanya dengan alasan seperti itu, kita menyetujui adanya klasifikasi gender, diskriminasi perempuan di dalam pekerjaan? Apa lagi jika ditambahkan dengan ideologi agama dan budaya, ruang gerak perempuan semakin sempit. Dan ini terjadi karena berdasarkan aturan-aturan yang ada di dalam lingkungan golongan kelas atas, golongan elit dan ningrat; sedangkan dalam golongan kelas bawah sebenarnya tidak ada aturan seperti ini.



Kecenderungan Patriarki dalam Kehidupan Masyarakat

Unsur dasar dari ketidaksamaan gender dalam masyarakat yang bersumber pada terlalu kuatnya sistem patriarki yang berlangsung dalam masyarakat. Max Weber[1] mendefinisikan pariarki sebagai sebuah sistem pemerintahan yang mana kaum laki-laki mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala rumah tangga. Dan sistem tersebut dominasi dari para lelaki muda yang belum menjadi kepala keluarga juga tidak kalah pentingnya, jika tidak lebih penting dibandingkan elemen dominasi laki-laki terhadap perempuan melalui rumah tangga.

Claudia Von Werlhof,[2] dengan perspektif radikal-historis menguraikan bahwa awal munculnya patriarki berasal dari “tradisi perang” di mana eksistensi patriarki dianggap tergantung sepenuhnya pada kelangsungan dan kesinambungan perang yang memposisikan kaum laki-laki sebagai kelas dominan karena kekuatan fisiknya. Perang juga mengakibatkan hancurnya sistem matriarki dalam masyarakat pra-perang. Dengan demikian logika patriarki merupakan logika perang yang berarti bahwa semua institusi sosial yang ditemukan dan diciptakan oleh patriarki secara prinsipil berasal dari pengalaman perang, baik dalam persoalan ekonomi, sosial-politik, maupun ketuhanan.

Ada pula pandangan kritis terhadap patriarki yang muncul dari para pemikir yang merupakan kelompok analisis sistem ganda. Kelompok ini berasumsi bahwa dasar patriarki ‘berjalan bersama’ dengan kapitalisme. Meskipun tidak bisa dikatakan bahwa patriarki dan kapitalisme, karena dalam masyarakat feodal atau dalam masyarakat sosial sekalipun, patriarki itu suah ada. Kelemahan dari sistem ini adalah apakah mereka bisa dengan tepat untuk terus mempertahankan dualitas antara kapitalisme dan patriarki dalam analisisnya. Sedangkan para teoritis sistem ganda mempertahankan pembedaan patriarki dan kapitalisme dengan menekankan dua sistem tersebut pada level-level yang berbeda dari masyarakat, kapitalisme pada ekonomi dan patriarki pada ketidaksadaran.

Sementara itu, Walby mendefinisikan patriarki sebagai sebuah sistem struktur sosial dan praktik di mana laki-laki mendominasi, menekan, dan mengeksploitisir perempuan.[3] Gender bukanlah suatu pembagian yang dipaksakan oleh kelas dominan, dalam hal ini adalah laki-laki, tetapi ia telah menjadi sesuatu yang beroperasi melampaui resistensi dan menjadi sebuah consensus yang sangat alamiah dimana banyak kaum perempuan yang tidak menyadarinya

Dari uraian diatas patriarki bisa didefinisikan sebagai sebuah sistem struktur sosial dalam masyarakat yang sudah berlangsung dalam rentang historis yang cukup lama dan bertransformasi secara kontinyu dimana kaum laki-laki mempunyai posisi dominan dan dengan posisinya itu mereka melakukan eksploitasi terhadap perempuan yang mewujud dalam praktik sosial, ekonomi, politik dan budaya, baik dalam ruang privat maupun publik.
Menurut Walby,[4] budaya atriarchal merupakan struktur yang diciptakan dari rangkaian beragam praktik-praktik patriarchal. Dalam dunia filsafat, agama pedidikan maupun norma-norma tradisi, perempuan seringkali menjadi subjek direndahkan, sementara laki-laki adalah subjek yang ‘berhak untuk berkuasa’.





Relasi Patriarkal dalam pekerjaan ber-upah

Menurut Walby,[5] kunci utama dari relasi patriarkal dalam pekerjaan ber-upah adalah penutupan akses oleh laki-laki untuk perempuan. Hal itu melibatkan dijauhkannya perempuan dari pekerjaan ber-upah atau pemisahan kerja-kerja perempuan di dalamnya. Kondisi itu menyebabkan devaluasi kerja perempuan dan upah yang rendah bagi mereka. ini telah menjadi fakta sosial dengan efek determinis, tidak hanya bagi perempuan di lingkungan kerja, tetapi juga di wilayah lain termasuk ruang domestic serta aspek lain dalam relasi gender. Relasi sosial yang terjadi adalah antara laki-laki, sebagai the excluder dan devaluer, dan perempuan, sebagai the excluded dan devalued.

Walby juga menambahkan bahwa dalam masyarakat kapitalis-industrialis saat ini, aspek konkrit dari relasi patriarkal adalah pembagian pekerjaan. Mempunyai beberapa bentuk baik secara vertikal dan horizontal dan antara full-time dan part-time. Dalam level hierarki vertikal dan horizontal, misalnya, perempuan seringkali dikategorikan sebagai ‘yang kurang mempunyai skill’ dibandingkan laki-laki. Pembedaan antara kerja full-time dan part-time membuat perbedaan jumlah proteksi legal yang diberikan kepada para pekerja.

Sejalan dengan pemaparan yang diberikan oleh Walby, Brian Martin,[6] secara reflektif mengatakan bahwa :
“Sistem kapitalis, telah memanfaatkan ketidaksamaan seksual untuk memperkuat control kapitalis, dari pada mempromosikan kesamaan seksual melalui pasar. Pembagian gender buruh bisa jadi memperlambat keseluruhan produktifitas ekonomi, namun juga bisa mengesahkan kekuatan kerja untuk dibagi atau dibedakan. Loyalitas laki-laki terhadap pimpinan diperkuat dengan keuntungan structural dari hadirnya perempuan. Bukanlah ‘sistem kapitalis’ anonym uang melakukan semua itu. lebih dari itu, laki-lak memang selalu mengendalikan posisi yang paling berkuasa sebagai kapitalis dan manajer sehingga secara personal mereka mempunyai keuntungan dari pelayanan yang diberikan para istri dan asisten perempuan. Para lelaki itu telah membuat keputusan untuk memapankan ‘upah keluarga’ dan bayaran yang tidak sama guna mengupah perempuan untuk tipe-tipe pekerjaan yang sama. Selain itu juga untuk membatasi efektivitas peraturan tentang hak-hak perempuan. Para elit laki-laki itu merupakan produk dari patriarki yang membentuk posisi puncak dan memberikan keuntungan bagi mereka dalam setiap tahap kehidupannya. Mereka telah menciptakan kebijakan yang mampu merespons keberadaan dua sistem, kapitalisme dan patriarki.”



Negosiasi Media: wacana feminisme dalam media

Media massa sebagai media komunikasi informasi ke masyarakat, sedikit banyak memberikan peranan yang cukup besar dalam pergerakan feminisme. Media sebagai wadah negoisasi kaum feminis, tempat pergulatan wacana kritis persoalan feminisme, yang berisikan pro dan kontra terhadap gerakan feminisme. Mengangkat suatu tema perempuan dalam setiap sudut pergerakannya. Misalkan, wacana mengangkat cerita perjuangan seorang perempuan dalam tuntutan sosial, ketidakadilan yang dialami perempuan dengan menggunakan alasan agama dan budaya, dan sebagainya.

Pada suatu wacana pada harian Kompas,[7] mengangkat sebuah tema perjuangan perempuan. Wacana ini menceritakan tentang seorang perempuan janda paruh baya bernama Marni, yang berjuang sendirian untuk tetap hidup dengan bertani cabai. Dalam wacana tersebut diilustrasikan bagaimana Marmi menjalani kehidupan sehari-hari dan kehebatannya dalam menghadapi tuntutan hidup. Marmi yang harus bergelut dengan tanah dan lumpur, belum lagi jika panas matahari mulai menyengat kulitnya. Bagaimana marni harus menggarap lahan sendirian, tanpa suami dan anak yang mendampinginya; dan bagaimana Marmi menghadapi kendala ketika musim hujan tanaman cabainya terendam banjir hingga mati, sedangkan setiap musim kemarau cabai bisa ditanam dan dipanen beberapa kali. Di sini terlihat bahwa adanya tuntutan sosial atas pribadinya sebagai individu sangat besar, suatu kondisi dimana sosok perempuan mampu menanganinya tanpa harus terperdaya oleh keterbatasan dan kelemahannya. Marmi yang harus ‘ngotot’ mengumpulkan uang karena adanya tuntutan sosial dalam kehidupan masyarakat di desanya, yaitu suatu sumbangan wajib namun tidak tertulis ketika tetangga atau keluarga mengadakan acara hajatan atau pesta pernikahan, dengan sumbangan ‘wajib’ per hajat atau peseta: Rp 15.000 untuk tetangga atau kenalan biasa dan Rp 100.000 untuk keluarga dekat. Coba bayangkan apa yang terjadi pada Marmi jika acara tersebut diadakan beberapa kali dalam satu bulan, dia pasti akan berusaha dengan lebih keras lagi untuk memenuhi semua ‘kewajiban’ tak tertulis tersebut. Dari wacana ini nampak sebuah opini atau banyak bahwa perempuan itu bukanlah sosok yang pantas untuk diremehkan, perempuan itu bukanlah mahluk yang cengeng yang tidak bisa berbuat apa-apa. Dalam tuntutan sosial pun perempuan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya. Namun beberapa lingkungan pekerjaan kedang mendiskreditkan perempuan dalam bekerja, dengan alasan perempuan kurang produktif, memiliki waktu yang terbatas dan kurang bisa bekerja dengan maksimal, hal ini dikarenakan perempuan yang harus mengurus suami dan anak, mengalami proses menstruasi dan hamil yang tentu saja berhubungan dengan kesehatan mereka yang akhirnya mempengaruhi efisiensi mereka dalam bekerja.

Dalam wacana lain mengangkat tema tentang gizi buruk yang dialami oleh balita, dapat dipastikan berhubungan dengan perempuan sebagai sosok seorang ibu. Ketika seorang anak menderita gizi buruk, seringkali perempuan (sebagai seorang ibu) memiliki rasa paling bertanggungjawab karena ibu adalah orang yang paling dekat dalam pengasuhan anak balita, terutama dalam hal makanannya. Padahal sangat jelas sekali timbulnya masalah ini tidak selalu menjadi tanggungjawab perempuan. Sistem demokrasi dalam keluarga memberikan suatu persyaratan yang mana kegagalan tumbuh kembang anak adalah tanggungjawab seluruh keluarga, terutama bapak dan ibu. Bapak yang bertugas sebagai pencari afkah tidak bisa menyerahkan pengasuhan anak sepenuhnya kepada ibu (istrinya), apa lagi jika ternyata istrinya itu juga bekerja. Pada keluarga miskin trade-off yang terjadi apabila ibu yang bekerja adalah hilangnya kesempatan dia untuk mengasuh dan membesarkan anaknya secara optimal. Tapi, di lain sisi, seandainya ibu tidak bekerja dan penghasilan suami kurang mencukupi, maka seluruh keluarga akan mengalami kesulitan dalam pemenuhan gizi dan kebutuhan hidup sehari-hari. Sebuah penelitian di India membuktikan bahwa tumbuh kembang balita yang tidak diasuh oleh ibunya karena ibunya bekerja, itu lebih baik dari pada diasuh oleh ibu yang tidak bekerja dan hanya mengandalkan penghasilan suami yang tidak mencukupi. Dari sini kita bisa menilai bahwa dalam kehidupan rumahtangga khususnya, perempuan itu memiliki peranan yang ganda. Yaitu sebagai ibu, pengatur rumah tangga untuk pemenuhan kebutuhan dasar keluarga, produsen dan kontributor penghasilan keluarga, dan pengatur organisasi kemasyarakatan yang berdampak pada kesejahteraan sosial. Inilah yang dikenal dengan empat peran perempuan.

Wacana-wacana tersebut memberikan kita suatu gambaran peranan media dalam memediasi wacana kritis, dalam hal ini adalah perempuan. Media berfungsi sebagai negosiasi antar kaum feminisme dan golongan yang kontra lainnya. pentingnya media dalam menampilkan suatu wacana feminisme sangat membantu dalam pergerakan kaum feminis tersebut dalam menunjukan eksistensinya. Para feminis bisa mengeluarkan seruan-seruannya akan kesetaraan gender, pengkritikan ketidakadilan gender, bahkan sampai dengan pengangkatan tematik ke khalayak ramai mengenai perempuan melalui media.




Kontra Hegemoni Patriarki

Penentangan kekuasaan patriarki dalam masyarakatpun sudah banyak dilakukan, apalagi kekuasaan patriarki yang berandas pada ideologisme agama. Dan perdebatan ini semakin seru saja. Media pun sering laki mengangkat tema perbincangan mengenai ideologi agama di dalam gerakan feminisme. Dan beberapa diantara kaum feminisme muslim pun menekankan bahwa di dalam islam tak tertera adanya diskriminasi gender, pembedaan perempuan terhadap laki-laki yang tertulis di dalam Alquran, bahkan Prof Nawal H Ammar, PhD,[8] tanpa ragu-ragu mengatakan bahwa Nabi Muhammad dapat disebut sebagai feminis yang pertama, sebab Beliau memberikan hak-hak perempuan setara dengan laki-laki. Contohnya yang sangat populer adalah ketika Nabi marah ketika mendengar bahwa putrinya, Fatimah, akan dipoligami oleh suaminya, Ali bin Abi Thalib. Prinsip-prinsip kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki terdapat di dalam Al Quran. Pembacaan terhadap Al Quran yang dipengaruhi oleh budaya patriarkilah yang menyebabkan interpretasi terhadap kitab suci itu menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan. Ammar menyatakan bahwa feminisme sebagai konsep telah ada di dalam pemikiran para perempuan di negara-negara Islam, jauh sebelum istilah feminisme menjadi jargon Barat.

Para perempuan di Mesir awal abad ke-20 sudah menentang ketidakadilan yang dialami perempuan dengan menggunakan agama, yaitu mengenai kerudung yang menjadi keharusan bagi perempuan Mesir dan bukan menjadi pilihan berdasarkan kesadaran diri bagi kaum perempuan.
Sementara itu, feminisme sebagai suatu pergerakan dimulai oleh perempuan kelas bawah kulit putih di Amerika pada akhir abad ke-19, kemudian disusul dengan feminis gelombang ke dua pada tahun 1960-an dan feminisme gelombang ke tiga muncul bersamaan dengan feminisme gelombang ke dua. Masing-masing gelombang feminis ini mempunyai visi dan misi tersendiri. Feminis gelombang ke dua dan ke tiga tidak hanya memperjuangkan penghapusan diskriminasi berdasarkan gender, tetapi juga ras, etnis dan kelas yang terlihat secara langsung atapun terselubung di dalam pemikiran yang tercermin melalui bahasa.
Interpretasi kembali terhadap teks keagamaan menjadi sangat penting untuk membebaskan perempuan dari diskriminasi dengan mengatasnamakan agama. Menurut Prof Rita Gross,[9] PhD, agama harus terus diinterpretasi dari waktu ke waktu agar tetap relevan dengan kehidupan manusia penganutnya, atau agama itu akan ‘mati’.
Di sini pokok permasalahannya adalah orang yang melakukan interpretasi tidak pernah bebas dari latar belakang budayanya yang pastinya akan mempengaruhi pola pemikirannya. Dari sinilah muncul pertarungan wacana, upaya untuk membongkar interpretasi terhadap teks-teks keagamaan, terutama teks-teks dalam fikih Islam.




Akhiran

Dari uraian diatas dapat terlihat bahwa adanya peranan media di dalam suatu pergerakan komunitas, dalam hal ini adalah feminisme, yang mana media memegang peranan yang cukup penting. Persoalan-persoalan kaum perempuan ‘diangkat kepermukaan’ dengan begitu apik, menghasilkan suatu wacana kritis terhadap feminisme. Media juga berperan sebagai penengah antara feminisme dan kontra feminisme. Bagaimana tidak? Dalam pertarungan wacana tak perlu bertatap muka, semua sudah ditampilkan begitu rapi, sehingga pertarungan sengit yang dapat menimbulkan masalah yang beruntun pun dapat dipersempit. Media pula lah yang membuka gerbang kebebasan feminisme didalam melacarkan visi dan misinya, untuk penuntutan kesetaraan perempuan dengan laki-laki.

Media pula lah yang membuka suatu persoalan-persoalan yang terselubung seperti human trafficking, dalam hal ini adalah kaum perempuan, penyiksaan tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri; sehingga gerakan feminis lebih mudah melakukan ‘invansi’nya terhadap diskriminasi, penindasan dan perbedaan perempuan.
Seperti berita terbaru yang di tampilkan di media, cerita mengenai TKW Indonesia di Malaysia, Ceriyanti, yang mengalami penyiksaan yang sangat tidak manusiawi, kabur melalui jendela kamar apartemen milik majikannya hanya dengan menggunakan tali yang terbuat dari kain-kain pakaian yang dikaitkan; dan proses kaburnya Ceriynati ini yang akhirnya terkatung di pinggiran jendela karena talinya yang kurang panjang, hebatnya kaburnya Ceriyanti yang mengalami kendala karena tali yang kurang panjang tersebut diketahui oleh wartawan berita setempat sehingga proses evakuasi Ceriyanti dan tindakan lanjut segera dilakukan. Hal ini secara spontan langsung mendapat reaksi keras dari berbagai kalangan. Inilah hebatnya media masa, membuat suatu kondisi tertentu, mendramatisir, dan mem-blow-up-nya dengan begitu apik, menyentuh dan menarik sehingga menimbulkan reaksi-reaksi tertentu dari para pembacanya.


A walk to remember my journey,19 Juni 2007
Indah Rephi (23919/IV/-13/9/06)
Matakuliah : Berita dan Cerita
Dosen Pengampu: Dr. Suroso








DAFTAR PUSTAKA

Brian Martin, “Patriarchy”, Chapter 5 of Tied Knowledge: Power in Higer Education, dalam makalah review Ikwan Setiawan, “Membaca (lagi) Struktur Patriarki dalam Masyarakat”.

Claudia von Werlhof, “Capital Patriarchy and the Struggle for a ‘Deep’ Alternative”, makalah yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional bertajuk A Radically different world view is possible. The gift-economy inside and outside Patriarchal Capitalism, Las Vegas, USA, 13th-14th of November 2004, diakses dari http://uuhome.de/global/downloads/LasVegas.pdf.

Harian Kompas, 22 Januari 2007

Harian Kompas, 15 Juni 2007

Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989. dalam makalah review Ikwan Setiawan, “Membaca (lagi) Struktur Patriarki dalam Masyarakat”.

[1] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[2] Claudia von Werlhof, “Capital Patriarchy and the Struggle for a ‘Deep’ Alternative”, makalah yang dipresentasikan dalam Konferensi Internasional bertajuk A Radically different world view is possible. The gift-economy inside and outside Patriarchal Capitalism, Las Vegas, USA, 13th-14th of November 2004, diakses dari http://uuhome.de/global/downloads/LasVegas.pdf.

[3] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[4] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989.
[5] Sylvia Walby, “Theorizing Patriarchy” dalam jurnal Sociology, vol. 23 no.2, Mei 1989. dalam makalah review Ikwan Setiawan, “Membaca (lagi) Struktur Patriarki dalam Masyarakat”.
[6] Brian Martin, “Patriarchy”, Chapter 5 of Tied Knowledge: Power in Higer Education, dalam makalah review Ikwan Setiawan, “Membaca (lagi) Struktur Patriarki dalam Masyarakat”.

[7] Artikel yang dimuat dalam Harian Kompas, 15 Juni 2007. berjudul “Marmi, Pergulatan Perempuan Desa” yang ditulis oleh FX Laksana Agung Saputra.
[8] Harian Kompas, 22 Januari 2007. Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih, “Pertarungan Interpretasi di Ruang Publik”.
[9] Harian Kompas, 22 Januari 2007. Ninuk M Pambudy dan Maria Hartiningsih, “Pertarungan Interpretasi di Ruang Publik”.